Sudah 4 bln episode Sigi sakit tipes ini berulang. Dan skrg adl yg ke4 kalinya. Saya jatuh bangun menjalaninya. Ada masa2 saya begitu beriman percaya Tuhan punya rencana baik dibalik ini semua. Tapi lebih sering justrus saya babak belur menderita dalam depresi yg terus menerus dan semakin dalam. Saya bukan hanya jadi galak sama suami dan anak, bahkan saya marah besar kepada Tuhan. Padahal saat marahpun saya sadar saya pasti celaka, masak ciptaan ngelawan sama Pencipta, sama saja cari mati. Tapi saya tidak sanggup melawan emosi saya yg berlarut2 tertekan dalam kelelahan fisik dan mental. Tuhan menunjukkan siapa saya yg sebenarnya, seorang perempuan pemarah dengan bad temper yg sangat buruk, kasar bahkan seringkali saya sangat kejam memperlakukan Sigi kalau sedang tidak waras. Kemarin malam lengan bekas suntikan DPT yg masih bengkak saya pukul sampai dia menangis kesakitan krn saya hilang kesabaran menghadapi dia yg gk bisa diam. Pikiran saya memerintahkan saya utk memaksa dia diam istrht krn tipes gk boleh byk gerak, tp namanya anak 4 th bgmn caranya bisa diam sepanjang hari tanpa bosan, apalagi Sigi yg superaktif. Dalam setiap keterpurukan saya menghadapi penyakit tipes Sigi yg seperti entah kapan dan dimana ujungnya, Tuhan seringkali terasa jauh, terutama ketika saya sedang marah padaNya. Tapi dalam setiap episode itu pula Tuhan selalu berbicara kepada saya. Tipes pertama Dia bawakan saya buku the purpose driven life, yg kedua dia bawakan saya kitab amsal saat saya terus2an mendesakNya meminta diberikan hikmat. Tipes ketiga Dia kasih saya bible studi online anxious for nothing by max Lucado, dan skrg ini yg terakhir Dia kasih saya kitab Filipi, yang menurut saya ini sambungan banget dari anxious for nothing.
Saya benar2 bingung ketika dibilang bersukacitalah senantiasa, be anxious for nothing, perintah2 itu seperti perintah yg mustahil dilakukan. Saya mencari2 apa itu bersukacita, mana bisa saya bersukacita saat anak saya berkali2 sakit. Mana bisa saya bersukacita saat saya habis segala-galanya (hati, pikiran, emosi, fisik (uang saya tidak punya)), semua yg saya punya rasanya benar2 habis utk melawan tipes anak saya. Saya babak belur secara fisik, mental dan spiritual. Ini semua seperti mimpi buruk yg entah kapan berakhir. Banyak perkataan Tuhan saya mengerti sesaat, kemudian saya lupakan saat penderitaan dan kesulitan kembali datang. Saya seperti Musa yg posisi default nya adl marah. Juga seperti bangsa Israel yg tegar tengkuk dan hobi bersungut2, berkeluh kesah, murmuring. Konyolnya krn sepanjang hari cm bertiga sama anak2 jd yg bisa kena semprot amarah ya cuma mereka, terutama Sigi (dan sekali2 suami juga kena). Sebenarnya akar kemarahanku adl tidak terima Tuhan mengizinkan keadaan yg begitu buruk ini terjadi padaku, pada anakku Sigi. Aku menolak pemberian Tuhan, aku menolak rencana Tuhan. Bahkan pernah terjadi saya marah2 teriak2 di kamar mandi "Tuhan kl Kau mau mengubahku mjd ibu yg lebih baik, jgn pakai cara kekerasan seperti ini, gak akan berhasil, Engkau gagal, aku gak suka, aku benci padaMu" berulang2 saya marah seperti itu stlh sblmnya saya marah2 sama Sigi. Dia di luar panggil saya, Bunda marah knp?
Dari dalam saya teriak "diam, bunda gak marah sama kamu, bunda marah sama Tuhan!
Stlh keluar dr kamar mandi dia bertanya knp bunda marah sama Tuhan? Saya jawab "krn Tuhan gak kabulkan doa bunda biar kamu sehat gak kambuh lg tipesnya".
Dia terdiam lalu saya menangis. Saya bilang seharusnya bunda gak marah, seharusnya bunda terima saja kalau memang Tuhan izinkan km sakit, tapi hati bunda terlalu susah sampai akhirnya jadi marah.
Beberapa kali peristiwa jatuh bangun saya seringkali membawa kami pada faith talk. Seperti hari ini, ketika saya temani dia baca renungan saat teduhnya bahwa Tuhan pencipta samudera raya Tuhan berarti pemilik samudera. Begitupun bunda, Tuhan yg ciptakan, jd bunda adalah milikNya. Kalau Tuhan mau ambil boleh gak? Awalnya dia bilang gak boleh, kan Sigi sayang (sambil pegang tangan saya), lalu saya jelaskan bahwa seperti samudera adl milik Tuhan, bundapun jg adl milik Tuhan, dan Tuhan bisa ambil kapanpun Dia mau. Akhirnya dia bilang, mmmmm iya deh berarti gpp kl Tuhan ambil bunda. Renungan dia ini sbnrnya ngena banget ke saya. Dari sejak dia tipes pertama plus dbd Tuhan sudah bilang (lewat buku the purpose driven life) bahwa Sigi adl milikNya, dan kapanpun Dia mau ambil, itu adl kedaulatanNya. Cm seringkali saya menawar, janganlah Tuhan, sudah 4th lebih saya babak belur membesarkan dia dg tangan saya sendiri, mengasihi dan merawat dia setiap kali sakit dan bahkan berkali2 benci setiap kali dia sakit. Janganlah Kau ambil dia, please. Disitulah Tuhan tunjukkan siapa allah yg saya sembah skrg, bukan lagi Yesus Tuhan, tp Sigi anak. Fokus saya hanya pd Sigi. Sekalipun Senna sudah 6 bln lahir di dunia, yg ada di pikiran saya hanya Sigi, boro2 mikirin suami atau apalah yg lain, rasanya setiap sudut pikiran saya dipenuhi dg yg namanya Sigi. Sigi sudah berhasil menggeser posisi Allah di hati dan pikiran saya. Pun juga menggeser posisi hal2 lain tmsk suami saya. Empat bulan episode tipes ini benar2 mencelikkan mata saya, ngapain aja saya selama ini. Saya gak beda sama ahli taurat dan orang farisi yg tau byk ttg firtu, yg terlihat saleh dan sok rohani (bahkan lebih sering sombong rohani), tp di dalam diri saya kering, sampai hampir mati. Saya terlalu lama tidak bertumbuh, terus2an kerdil, karena itulah saya tidak berbuah. Buah2 roh kasih, sukacita, damai sejahtera, kebaikan, kelemahlembutan, kesabaran, pengendalian diri, kok semuanya gak ada di saya. Kasih saya berdasarkan situasi dan kondisi, kalau semua oke, saya hangat dan penuh kasih ke suami dan anak2. Saya tidak sabaran, gampang marah, kalau sudah emosi susah sekali mengendalikan diri, kadang sangat kejam dan tega. Benar2 bobrok sekali dalam diri saya ini. Berulang kali saya sadar, tp utk berbalik dan memperbaikinya sulit sekali. Misalnya pagi menjelang siang udah sadar ttg hal ini dan komit utk belajar menguasai diri, lemah lembut dan gak gampang marah. Sorean dikit udah eror lagi, liat anak sakit, rewel dan susah diatur balik marah2 lagi. Sampai sering saya tiba di satu titik merasa bahwa saya ini sepertinya adl kambing, bukan domba. Bukan tmsk salah satu dari org yg diselamatkan. Saya ini seperti sbagian besar org Israel angkatan pertama yg posisi default nya adl murmuring, complaining, bersungut2, bentuk ketidakpercayaannya kpd Allah. Yang pd akhirnya ditolak dan dibinasakan di padang gurun, pdhl udah capek bertahun2 muterin gurun melewati berbagai macam kesulitan hidup, namun pd akhirnya tdk mendapat bagian dlm keselamatan kekal, itu benar2 tragis. Jujur saya sering menangisi diri saya yg sebobrok ini, sering saya bilang saya ini ibu paling buruk di dunia, saya ini wanita yg sangat mengerikan, mana mungkin Tuhan mau mengampuni dan menolong saya yg tercela ini. Kontinusly saya masuk ke lubang depresi, namun lagi2 Tuhan angkat saya dari pusaran maut ini.
Dari keempat episode tipes Sigi ini saya ingin membagikan kepedulian Tuhan kpd saya, org paling buruk di dunia yg sangat pantas dimurkai, tp justru dikasihi, diampuni, dan dipulihkanNya.
Selama masa kesukaran ini saya terus mencari apa itu sukacita. Kl sukacita itu artinya senang, mana mungkin saya bisa senang saat anak saya sakit, atau saat saya merana dalam kesusahan saya seorang diri tanpa teman yg benar2 mengerti.
Jawaban pertama datang dari kotbah pendeta minggu ini. Dia bukakan ttg 4 tokoh yg dapat bersukacita dlm keadaannya yg sedang tidak baik. Bersukacita dia artikan bukan perasaan senang, tetapi perasaan lega yg luar biasa karena mengetahui yakin ada harapan. Dia gambarkan seperti kita berjalan melewati lorong yg gelap, sampai berasa sesak nafas, nah, ketika terlihat secercah cahaya kita bisa lega, lorong gelap ini ada ujungnya dan pasti berakhir.
Tokoh pertama Yesaya, mengajak bangsa Israel bersukacita setelah selesai dihukum, pulang dari pembuangan. Tokoh kedua pemazmur bersukacita setelah mengalami penderitaan. Tokoh ke3 bersukacita saat SEDANG bertahan dalam kesusahan. Ke 4 bersukacita saat mewartakan Injil.
Kata bersukacita semakin terasa jelas bagi saya ketika belajar surat filipi. Paulus menuliskan kitab ini dari dalam penjara (tahanan rumah di Roma), dia menyewa sdr rumah yg mjd penjaranya yg dijaga ketat oleh tentara Roma shg dia tdk dpt bekerja membuat tenda, artinya dia tdk bs menghasilkan uang, dlm kekurangan. Dia berada disitupun stlh mengalami turbulensi berkepanjangan, menjalani pengadilan yg perkaranya tak kunjung diberi putusan krn oknum2 yg menanti diberi suap olehnya, menjalani perjalanan panjang utk sampai di roma diusianya yg sudah tua sekitar 70 tahunan bahkan sampai sempat mengalami karam kapal dan terombang ambing berhari2 di tengah laut. Kesulitannya terus menerus spt tidak berujung. Tapi dalam surat-suratnya dia tulis, bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan. Sekali lagi kukatakan, bersukacitalah. Ternyata rahasia sukacita paulus bukan terletak pada situasi kondisi hidupnya, tetapi pada Kristus dan injilnya.
(to be continued)
Saya benar2 bingung ketika dibilang bersukacitalah senantiasa, be anxious for nothing, perintah2 itu seperti perintah yg mustahil dilakukan. Saya mencari2 apa itu bersukacita, mana bisa saya bersukacita saat anak saya berkali2 sakit. Mana bisa saya bersukacita saat saya habis segala-galanya (hati, pikiran, emosi, fisik (uang saya tidak punya)), semua yg saya punya rasanya benar2 habis utk melawan tipes anak saya. Saya babak belur secara fisik, mental dan spiritual. Ini semua seperti mimpi buruk yg entah kapan berakhir. Banyak perkataan Tuhan saya mengerti sesaat, kemudian saya lupakan saat penderitaan dan kesulitan kembali datang. Saya seperti Musa yg posisi default nya adl marah. Juga seperti bangsa Israel yg tegar tengkuk dan hobi bersungut2, berkeluh kesah, murmuring. Konyolnya krn sepanjang hari cm bertiga sama anak2 jd yg bisa kena semprot amarah ya cuma mereka, terutama Sigi (dan sekali2 suami juga kena). Sebenarnya akar kemarahanku adl tidak terima Tuhan mengizinkan keadaan yg begitu buruk ini terjadi padaku, pada anakku Sigi. Aku menolak pemberian Tuhan, aku menolak rencana Tuhan. Bahkan pernah terjadi saya marah2 teriak2 di kamar mandi "Tuhan kl Kau mau mengubahku mjd ibu yg lebih baik, jgn pakai cara kekerasan seperti ini, gak akan berhasil, Engkau gagal, aku gak suka, aku benci padaMu" berulang2 saya marah seperti itu stlh sblmnya saya marah2 sama Sigi. Dia di luar panggil saya, Bunda marah knp?
Dari dalam saya teriak "diam, bunda gak marah sama kamu, bunda marah sama Tuhan!
Stlh keluar dr kamar mandi dia bertanya knp bunda marah sama Tuhan? Saya jawab "krn Tuhan gak kabulkan doa bunda biar kamu sehat gak kambuh lg tipesnya".
Dia terdiam lalu saya menangis. Saya bilang seharusnya bunda gak marah, seharusnya bunda terima saja kalau memang Tuhan izinkan km sakit, tapi hati bunda terlalu susah sampai akhirnya jadi marah.
Beberapa kali peristiwa jatuh bangun saya seringkali membawa kami pada faith talk. Seperti hari ini, ketika saya temani dia baca renungan saat teduhnya bahwa Tuhan pencipta samudera raya Tuhan berarti pemilik samudera. Begitupun bunda, Tuhan yg ciptakan, jd bunda adalah milikNya. Kalau Tuhan mau ambil boleh gak? Awalnya dia bilang gak boleh, kan Sigi sayang (sambil pegang tangan saya), lalu saya jelaskan bahwa seperti samudera adl milik Tuhan, bundapun jg adl milik Tuhan, dan Tuhan bisa ambil kapanpun Dia mau. Akhirnya dia bilang, mmmmm iya deh berarti gpp kl Tuhan ambil bunda. Renungan dia ini sbnrnya ngena banget ke saya. Dari sejak dia tipes pertama plus dbd Tuhan sudah bilang (lewat buku the purpose driven life) bahwa Sigi adl milikNya, dan kapanpun Dia mau ambil, itu adl kedaulatanNya. Cm seringkali saya menawar, janganlah Tuhan, sudah 4th lebih saya babak belur membesarkan dia dg tangan saya sendiri, mengasihi dan merawat dia setiap kali sakit dan bahkan berkali2 benci setiap kali dia sakit. Janganlah Kau ambil dia, please. Disitulah Tuhan tunjukkan siapa allah yg saya sembah skrg, bukan lagi Yesus Tuhan, tp Sigi anak. Fokus saya hanya pd Sigi. Sekalipun Senna sudah 6 bln lahir di dunia, yg ada di pikiran saya hanya Sigi, boro2 mikirin suami atau apalah yg lain, rasanya setiap sudut pikiran saya dipenuhi dg yg namanya Sigi. Sigi sudah berhasil menggeser posisi Allah di hati dan pikiran saya. Pun juga menggeser posisi hal2 lain tmsk suami saya. Empat bulan episode tipes ini benar2 mencelikkan mata saya, ngapain aja saya selama ini. Saya gak beda sama ahli taurat dan orang farisi yg tau byk ttg firtu, yg terlihat saleh dan sok rohani (bahkan lebih sering sombong rohani), tp di dalam diri saya kering, sampai hampir mati. Saya terlalu lama tidak bertumbuh, terus2an kerdil, karena itulah saya tidak berbuah. Buah2 roh kasih, sukacita, damai sejahtera, kebaikan, kelemahlembutan, kesabaran, pengendalian diri, kok semuanya gak ada di saya. Kasih saya berdasarkan situasi dan kondisi, kalau semua oke, saya hangat dan penuh kasih ke suami dan anak2. Saya tidak sabaran, gampang marah, kalau sudah emosi susah sekali mengendalikan diri, kadang sangat kejam dan tega. Benar2 bobrok sekali dalam diri saya ini. Berulang kali saya sadar, tp utk berbalik dan memperbaikinya sulit sekali. Misalnya pagi menjelang siang udah sadar ttg hal ini dan komit utk belajar menguasai diri, lemah lembut dan gak gampang marah. Sorean dikit udah eror lagi, liat anak sakit, rewel dan susah diatur balik marah2 lagi. Sampai sering saya tiba di satu titik merasa bahwa saya ini sepertinya adl kambing, bukan domba. Bukan tmsk salah satu dari org yg diselamatkan. Saya ini seperti sbagian besar org Israel angkatan pertama yg posisi default nya adl murmuring, complaining, bersungut2, bentuk ketidakpercayaannya kpd Allah. Yang pd akhirnya ditolak dan dibinasakan di padang gurun, pdhl udah capek bertahun2 muterin gurun melewati berbagai macam kesulitan hidup, namun pd akhirnya tdk mendapat bagian dlm keselamatan kekal, itu benar2 tragis. Jujur saya sering menangisi diri saya yg sebobrok ini, sering saya bilang saya ini ibu paling buruk di dunia, saya ini wanita yg sangat mengerikan, mana mungkin Tuhan mau mengampuni dan menolong saya yg tercela ini. Kontinusly saya masuk ke lubang depresi, namun lagi2 Tuhan angkat saya dari pusaran maut ini.
Dari keempat episode tipes Sigi ini saya ingin membagikan kepedulian Tuhan kpd saya, org paling buruk di dunia yg sangat pantas dimurkai, tp justru dikasihi, diampuni, dan dipulihkanNya.
Selama masa kesukaran ini saya terus mencari apa itu sukacita. Kl sukacita itu artinya senang, mana mungkin saya bisa senang saat anak saya sakit, atau saat saya merana dalam kesusahan saya seorang diri tanpa teman yg benar2 mengerti.
Jawaban pertama datang dari kotbah pendeta minggu ini. Dia bukakan ttg 4 tokoh yg dapat bersukacita dlm keadaannya yg sedang tidak baik. Bersukacita dia artikan bukan perasaan senang, tetapi perasaan lega yg luar biasa karena mengetahui yakin ada harapan. Dia gambarkan seperti kita berjalan melewati lorong yg gelap, sampai berasa sesak nafas, nah, ketika terlihat secercah cahaya kita bisa lega, lorong gelap ini ada ujungnya dan pasti berakhir.
Tokoh pertama Yesaya, mengajak bangsa Israel bersukacita setelah selesai dihukum, pulang dari pembuangan. Tokoh kedua pemazmur bersukacita setelah mengalami penderitaan. Tokoh ke3 bersukacita saat SEDANG bertahan dalam kesusahan. Ke 4 bersukacita saat mewartakan Injil.
Kata bersukacita semakin terasa jelas bagi saya ketika belajar surat filipi. Paulus menuliskan kitab ini dari dalam penjara (tahanan rumah di Roma), dia menyewa sdr rumah yg mjd penjaranya yg dijaga ketat oleh tentara Roma shg dia tdk dpt bekerja membuat tenda, artinya dia tdk bs menghasilkan uang, dlm kekurangan. Dia berada disitupun stlh mengalami turbulensi berkepanjangan, menjalani pengadilan yg perkaranya tak kunjung diberi putusan krn oknum2 yg menanti diberi suap olehnya, menjalani perjalanan panjang utk sampai di roma diusianya yg sudah tua sekitar 70 tahunan bahkan sampai sempat mengalami karam kapal dan terombang ambing berhari2 di tengah laut. Kesulitannya terus menerus spt tidak berujung. Tapi dalam surat-suratnya dia tulis, bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan. Sekali lagi kukatakan, bersukacitalah. Ternyata rahasia sukacita paulus bukan terletak pada situasi kondisi hidupnya, tetapi pada Kristus dan injilnya.
(to be continued)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar