Beberapa tahun yang lalu saya pernah membaca artikel tentang VBAC (Vaginal Birth After Secarian) dan sama sekali tidak terpikir kalau saya akan memiliki pengalaman VBAC ini. Empat tahun yang lalu Sigi lahir secar karena saya mengalami KPD (Ketuban Pecah Dini) saat ukuran kandungan 35 minggu kurang. Saat itu dunia serasa runtuh...
Setelah tiga tahun berjalan, saya dan suami berencana meminta Tuhan anak ke-2. Ini berawal dari keinginan Sigi untuk punya adik. Setiap hari dia berdoa sambil elus-elus perut bundanya agar segera ada baby di perut bunda. Ketika Tuhan akhirnya izinkan saya hamil lagi, Sigi benar-benar happy. Kami sekeluarga overexcited menantikan baby-2 ini. Ternyata kehamilan ketiga saya ini sangat berat. Saya hiperemesis, mual muntah sangat parah sampai berat badan turun 4kg. Setiap kali keluar rumah terkena matahari, mata langsung gelap berasa mau pingsan. Sampai saya tidak sanggup lagi antar jemput Sigi sekolah. Akhirnya Sigi berangkat sekolah bareng ayahnya sekalian ke kantor dan pulangnya naik mobil jemputan opa Bun.
Rumah, suami dan anak benar-benar tidak terurus. Saya sering membeli sayur dan lauk di warung dekat rumah karena tidak sanggup ke pasar dan memasak. Seharian kerjanya cuma tiduran dan muntah. Saat itu Sigi benar-benar kasihan. Setiap kali pulang sekolah, dia cuma bisa main sendiri karena bundanya gak kuat nemenin. Tiap hari doain bunda biar sehat lagi. Dia selalu bilang kalau bundanya sedang "sakit bobok" karena bisanya cuman bobok sepanjang hari.
Sigi yang tidak terurus ini akhirnya terkapar sakit karena makannya sembarangan. Dokter bilang dia kena virus dan dirawat selama 2 hari di RS karena trombositnya terus turun dikhawatirkan terkena DBD. Untunglah ternyata virus biasa bukan DBD. Setelah Sigi sehat kita langsung berangkat ke Rembang karena Sigi sedang libur sekolah dan saya berharap kami berdua akan lebih terurus di kampung. Dan benar saja, hampir 3 minggu di kampung, kami berdua makin gemuk dan saya sudah tidak mual muntah lagi...
Waktu terus berjalan dengan keadaan yang semakin baik. Tibalah minggu-minggu terakhir menuju persalinan. Saat minggu ke-37 dokter mengatakan kami harus bersiap-siap untuk operasi secar lagi karena si baby belum turun. Tapi dokter masih mau tunggu (tidak jelas sampai berapa lama dokter akan menunggu si baby turun). Disini Tuhan bentuk hati saya untuk tidak kecewa pada apapun keputusan-Nya, untuk tetap percaya dan terus berdoa serta berusaha. Juga agar tidak sombong bila akhirnya Tuhan mewujudkan permohonan saya untuk bisa VBAC.
Hari Sabtu Sigi dan Yanu ke Ragunan untuk acara Celebration SK. Sedangkan saya ke hermina untuk ikut senam hamil. Setelah selesai senam hamil, bidan mengajari cara ngeden yang benar, serta term n condition yang harus dipenuhi untuk bisa VBAC. Yang pasti proses persalinan itu harus smooth tanpa intervensi medis. Minggu sebelumnya dr. Dewi juga sudah mengatakan demikian dan menyarankan saya untuk mengikuti senam hamil agar bisa latihan ngeden dan menjaga stamina. Dokter bilang "ibu kalau mau normal harus berusaha sendiri, kami (dokter dan bidan) hanya akan menonton dan kasih semangat, gak boleh diapa-apain (tidak boleh dipicu dengan induksi atau memakai ILA untuk pengurang rasa sakit maupun obat-obatan yang lain). Kondisi lain yang harus terpenuhi selain baby masuk panggul adalah ketebalan jahitan harus minimal sekian mm, berat badan bayi tidak boleh lebih besar dari bayi pertama saat lahir secar dan tidak boleh lahir melewati due date. Akhirnya saya mulai diet karena saat itu BB baby sudah 2,7kg padahal bayi saya yang lahir secar beratnya hanya 2kg. Bidan bilangnya sih saya kasus khusus karena kan dulu anaknya lahir premature dan BBLR, jd BB bayi yg sekarang maksimal 3kg. Untunglah diet saya berhasil, Senna lahir 2,84kg. Syarat yang lain untuk VBAC adalah harus ada kontraksi sampai pembukaan lengkap dan ibunya kuat staminanya untuk ngeden sendiri.
Setiap hari Sigi doain dedeknya agar mau turun, dan menemani saya pagi, siang, sore, malam untuk jongkok, nungging dan goyang inul sampai kaki kita berdua capek. Suami udah nyerah dan menyarankan saya untuk langsung secar saja mengikuti warning dokter. Ungtunglah dokter Dewi cuti 3 hari sehingga belum jadi nurutin suami untuk secar di minggu ke-38.
Sabtu saat senam hamil waktu itu bidan juga pesen (ngasih PR nih ceritanya) supaya dipancing pakai sperma agar segera mulai kontraksinya. Dan ternyata benar, setelah 2x berhubungan, Selasa pagi saat saya dan Sigi jalan-jalan ke taman mulai terasa kontraksi dari jam 8. Lalu keluar darah flek jam 12. Jam setengah 4 sore kita sampai di RS dicek masih bukaan 1 tapi kontraksi sudah teratur dan kuat sehingga kita dilarang pulang. Di ruang bersalin itu anak dibawah 12 tahun dilarang masuk. Jadi saya suruh Sigi dan ayahnya pulang saja karena kasian juga kalau Sigi harus tiduran di ruang tunggu. Akhirnya jam 10 malam kakung dan uti Bandung sampai di Gading jadi ada yang menemani Sigi di rumah. Suami langsung menuju RS menemani saya. Mules semakin intens tapi masih pembukaan 1. Hari itu, Rabu subuh, adalah hari pertama dr. Dewi masuk setelah 3 hari cuti. Jam 1 dicek pembukaan 2 tapi mulesnya udah parah banget. Jam 2 tiba-tiba udah pembukaan 4 dan berasa mau brojol. Akhirnya saya dilarang berdiri-berdiri lagi sama bidan, harus tiduran. Padahal kalau tiduran pas kontraksi itu sakitnya ampun, naujubileh... Akhirnya suami elus-elus pinggang belakang saya setiap kali gelombang itu datang, and really it works. Sakitnya berangsur-angsur hilang setiap kali dielus-elus suami. Jam 4 subuh bukaan lengkap dan dokter sudah siap. Pas dia cek ternyata posisi bayi masih sangat tinggi jadi dia siapin vaccum. Sayangnya, kontraksinya sudah sulit saya rasakan, seperti sudah ilang aja sakitnya, jadi saya bingung menentukan kapan momen yang tepat untuk ngeden. Saya coba asal ngeden saja tanpa menunggu datangnya kontraksi, ternyata sia-sia. Hampir setengah jam ngeden, baby belon keluar juga, cuma kelihatan rambutnya aja. Akhirnya dokter siap-siap mau vaccum lalu suami teriakin saya, "ayo kamu harus berusaha, jangan sampai anak kita divaccum". Diteriakin begitu, akhirnya terasa juga kontraksinya. Begitu dapat momen yang pas, dua kali ngeden akhirnya si genduk lahir juga.
VBAC ini benar-benar ngajarin saya untuk gak sombong dan menantang rasa sakit. Jujur dulu saya sering gemes kalau denger/baca ibu-ibu kalau cerita tentang proses persalinan normal mereka, di telinga saya selalu terdengar lebay.
"Sakitnya tuh naujubileh", "astaganaga, sakitnya warbiyasah", "ya ampiun, suakit buanget tak terkatakan". Semuanya terdengar hiperbola, sampai saya bilang sama Tuhan, "emang sesakit apa sih Tuhan? Ah paling cuma gitu doang... Saya kan tahan sama rasa sakit, kuatlah pasti...! Pokoknya saya mau normal biar cepet pulih, bisa ngurus anak-anak dan diri saya sendiri, biar gak lama-laama ngrepotin orang! (The power of POKOKnya)".
Akhirnya ketika saatnya tiba, saya bisa bilang bahwa semua yang dikatakan ibu-ibu itu FAKTA. Melahirkan itu memang benar sakit. Jadi yang Tuhan firmankan di kejadian 3:16 itu semuanya benar.
"Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak, (kondisi saya saat mengandung benar-benar payah, seperti yang saya ceritakan di awal); dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu (iya memang benar-benar sakit), namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu."
Berahi disini bukan hanya secara lahiriah, tapi juga secara mental. Kita para istri seringkali bernafsu untuk menjadi pemimpin, mengontrol suami, padahal Tuhan sudah memberikan kuasa kepada suami untuk memimpin istrinya. Itulah kenapa banyak rumah tangga tidak berfungsi dengan baik, karena nature wanita yang selalu ingin menguasai dan mengambil alih pimpinan dalam rumah tangga. Banyak suami yang akhirnya nurut-nurut saja, seperti Adam yang nurut saat dikasih buah sama Hawa. Dan perempuan itu biasanya sangat lihai dalam mempengaruhi dan memanipulasi sehingga tanpa sadar, dia sudah mengambil alih pimpinan di rumah tangga. Biasanya bukan dengan paksa atau kekerasan, tapi juatru seringkali secara halus dan manipulatif, atau seperti istri Simson yang terus menerus merengek. Rayuan, rengekan, ngambek, bahkan ancaman sehingga akhirnya keputusan-keputusan iatrilah yang diikuti, bukannta keputusan Allah yang diejawantahkan dalam kepemimpinan suami.
Wah jadi kemana-mana nih tulisannya. Intinya saya mau bilang dalam VBAC ini Tuhan membentuk hati saya untuk percaya pada kebaikan hatiNya. Ketika saya tulus meminta dalam doa dan terus berjuang berusaha untuk bisa VBAC, tetap Tuhan yang pegang kendali. Dia mau kabulkan atau tidak, itu adalah otoritasNya. Dia bentuk saya biar gak sombong dan memandang rendah pengalaman orang lain. Tapi agar terus belajar, dalam segala hal Tuhan yang pegang kendali, dan firmanNya itu benar.
Setelah tiga tahun berjalan, saya dan suami berencana meminta Tuhan anak ke-2. Ini berawal dari keinginan Sigi untuk punya adik. Setiap hari dia berdoa sambil elus-elus perut bundanya agar segera ada baby di perut bunda. Ketika Tuhan akhirnya izinkan saya hamil lagi, Sigi benar-benar happy. Kami sekeluarga overexcited menantikan baby-2 ini. Ternyata kehamilan ketiga saya ini sangat berat. Saya hiperemesis, mual muntah sangat parah sampai berat badan turun 4kg. Setiap kali keluar rumah terkena matahari, mata langsung gelap berasa mau pingsan. Sampai saya tidak sanggup lagi antar jemput Sigi sekolah. Akhirnya Sigi berangkat sekolah bareng ayahnya sekalian ke kantor dan pulangnya naik mobil jemputan opa Bun.
Rumah, suami dan anak benar-benar tidak terurus. Saya sering membeli sayur dan lauk di warung dekat rumah karena tidak sanggup ke pasar dan memasak. Seharian kerjanya cuma tiduran dan muntah. Saat itu Sigi benar-benar kasihan. Setiap kali pulang sekolah, dia cuma bisa main sendiri karena bundanya gak kuat nemenin. Tiap hari doain bunda biar sehat lagi. Dia selalu bilang kalau bundanya sedang "sakit bobok" karena bisanya cuman bobok sepanjang hari.
Sigi yang tidak terurus ini akhirnya terkapar sakit karena makannya sembarangan. Dokter bilang dia kena virus dan dirawat selama 2 hari di RS karena trombositnya terus turun dikhawatirkan terkena DBD. Untunglah ternyata virus biasa bukan DBD. Setelah Sigi sehat kita langsung berangkat ke Rembang karena Sigi sedang libur sekolah dan saya berharap kami berdua akan lebih terurus di kampung. Dan benar saja, hampir 3 minggu di kampung, kami berdua makin gemuk dan saya sudah tidak mual muntah lagi...
Waktu terus berjalan dengan keadaan yang semakin baik. Tibalah minggu-minggu terakhir menuju persalinan. Saat minggu ke-37 dokter mengatakan kami harus bersiap-siap untuk operasi secar lagi karena si baby belum turun. Tapi dokter masih mau tunggu (tidak jelas sampai berapa lama dokter akan menunggu si baby turun). Disini Tuhan bentuk hati saya untuk tidak kecewa pada apapun keputusan-Nya, untuk tetap percaya dan terus berdoa serta berusaha. Juga agar tidak sombong bila akhirnya Tuhan mewujudkan permohonan saya untuk bisa VBAC.
Hari Sabtu Sigi dan Yanu ke Ragunan untuk acara Celebration SK. Sedangkan saya ke hermina untuk ikut senam hamil. Setelah selesai senam hamil, bidan mengajari cara ngeden yang benar, serta term n condition yang harus dipenuhi untuk bisa VBAC. Yang pasti proses persalinan itu harus smooth tanpa intervensi medis. Minggu sebelumnya dr. Dewi juga sudah mengatakan demikian dan menyarankan saya untuk mengikuti senam hamil agar bisa latihan ngeden dan menjaga stamina. Dokter bilang "ibu kalau mau normal harus berusaha sendiri, kami (dokter dan bidan) hanya akan menonton dan kasih semangat, gak boleh diapa-apain (tidak boleh dipicu dengan induksi atau memakai ILA untuk pengurang rasa sakit maupun obat-obatan yang lain). Kondisi lain yang harus terpenuhi selain baby masuk panggul adalah ketebalan jahitan harus minimal sekian mm, berat badan bayi tidak boleh lebih besar dari bayi pertama saat lahir secar dan tidak boleh lahir melewati due date. Akhirnya saya mulai diet karena saat itu BB baby sudah 2,7kg padahal bayi saya yang lahir secar beratnya hanya 2kg. Bidan bilangnya sih saya kasus khusus karena kan dulu anaknya lahir premature dan BBLR, jd BB bayi yg sekarang maksimal 3kg. Untunglah diet saya berhasil, Senna lahir 2,84kg. Syarat yang lain untuk VBAC adalah harus ada kontraksi sampai pembukaan lengkap dan ibunya kuat staminanya untuk ngeden sendiri.
Setiap hari Sigi doain dedeknya agar mau turun, dan menemani saya pagi, siang, sore, malam untuk jongkok, nungging dan goyang inul sampai kaki kita berdua capek. Suami udah nyerah dan menyarankan saya untuk langsung secar saja mengikuti warning dokter. Ungtunglah dokter Dewi cuti 3 hari sehingga belum jadi nurutin suami untuk secar di minggu ke-38.
Sabtu saat senam hamil waktu itu bidan juga pesen (ngasih PR nih ceritanya) supaya dipancing pakai sperma agar segera mulai kontraksinya. Dan ternyata benar, setelah 2x berhubungan, Selasa pagi saat saya dan Sigi jalan-jalan ke taman mulai terasa kontraksi dari jam 8. Lalu keluar darah flek jam 12. Jam setengah 4 sore kita sampai di RS dicek masih bukaan 1 tapi kontraksi sudah teratur dan kuat sehingga kita dilarang pulang. Di ruang bersalin itu anak dibawah 12 tahun dilarang masuk. Jadi saya suruh Sigi dan ayahnya pulang saja karena kasian juga kalau Sigi harus tiduran di ruang tunggu. Akhirnya jam 10 malam kakung dan uti Bandung sampai di Gading jadi ada yang menemani Sigi di rumah. Suami langsung menuju RS menemani saya. Mules semakin intens tapi masih pembukaan 1. Hari itu, Rabu subuh, adalah hari pertama dr. Dewi masuk setelah 3 hari cuti. Jam 1 dicek pembukaan 2 tapi mulesnya udah parah banget. Jam 2 tiba-tiba udah pembukaan 4 dan berasa mau brojol. Akhirnya saya dilarang berdiri-berdiri lagi sama bidan, harus tiduran. Padahal kalau tiduran pas kontraksi itu sakitnya ampun, naujubileh... Akhirnya suami elus-elus pinggang belakang saya setiap kali gelombang itu datang, and really it works. Sakitnya berangsur-angsur hilang setiap kali dielus-elus suami. Jam 4 subuh bukaan lengkap dan dokter sudah siap. Pas dia cek ternyata posisi bayi masih sangat tinggi jadi dia siapin vaccum. Sayangnya, kontraksinya sudah sulit saya rasakan, seperti sudah ilang aja sakitnya, jadi saya bingung menentukan kapan momen yang tepat untuk ngeden. Saya coba asal ngeden saja tanpa menunggu datangnya kontraksi, ternyata sia-sia. Hampir setengah jam ngeden, baby belon keluar juga, cuma kelihatan rambutnya aja. Akhirnya dokter siap-siap mau vaccum lalu suami teriakin saya, "ayo kamu harus berusaha, jangan sampai anak kita divaccum". Diteriakin begitu, akhirnya terasa juga kontraksinya. Begitu dapat momen yang pas, dua kali ngeden akhirnya si genduk lahir juga.
VBAC ini benar-benar ngajarin saya untuk gak sombong dan menantang rasa sakit. Jujur dulu saya sering gemes kalau denger/baca ibu-ibu kalau cerita tentang proses persalinan normal mereka, di telinga saya selalu terdengar lebay.
"Sakitnya tuh naujubileh", "astaganaga, sakitnya warbiyasah", "ya ampiun, suakit buanget tak terkatakan". Semuanya terdengar hiperbola, sampai saya bilang sama Tuhan, "emang sesakit apa sih Tuhan? Ah paling cuma gitu doang... Saya kan tahan sama rasa sakit, kuatlah pasti...! Pokoknya saya mau normal biar cepet pulih, bisa ngurus anak-anak dan diri saya sendiri, biar gak lama-laama ngrepotin orang! (The power of POKOKnya)".
Akhirnya ketika saatnya tiba, saya bisa bilang bahwa semua yang dikatakan ibu-ibu itu FAKTA. Melahirkan itu memang benar sakit. Jadi yang Tuhan firmankan di kejadian 3:16 itu semuanya benar.
"Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak, (kondisi saya saat mengandung benar-benar payah, seperti yang saya ceritakan di awal); dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu (iya memang benar-benar sakit), namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu."
Berahi disini bukan hanya secara lahiriah, tapi juga secara mental. Kita para istri seringkali bernafsu untuk menjadi pemimpin, mengontrol suami, padahal Tuhan sudah memberikan kuasa kepada suami untuk memimpin istrinya. Itulah kenapa banyak rumah tangga tidak berfungsi dengan baik, karena nature wanita yang selalu ingin menguasai dan mengambil alih pimpinan dalam rumah tangga. Banyak suami yang akhirnya nurut-nurut saja, seperti Adam yang nurut saat dikasih buah sama Hawa. Dan perempuan itu biasanya sangat lihai dalam mempengaruhi dan memanipulasi sehingga tanpa sadar, dia sudah mengambil alih pimpinan di rumah tangga. Biasanya bukan dengan paksa atau kekerasan, tapi juatru seringkali secara halus dan manipulatif, atau seperti istri Simson yang terus menerus merengek. Rayuan, rengekan, ngambek, bahkan ancaman sehingga akhirnya keputusan-keputusan iatrilah yang diikuti, bukannta keputusan Allah yang diejawantahkan dalam kepemimpinan suami.
Wah jadi kemana-mana nih tulisannya. Intinya saya mau bilang dalam VBAC ini Tuhan membentuk hati saya untuk percaya pada kebaikan hatiNya. Ketika saya tulus meminta dalam doa dan terus berjuang berusaha untuk bisa VBAC, tetap Tuhan yang pegang kendali. Dia mau kabulkan atau tidak, itu adalah otoritasNya. Dia bentuk saya biar gak sombong dan memandang rendah pengalaman orang lain. Tapi agar terus belajar, dalam segala hal Tuhan yang pegang kendali, dan firmanNya itu benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar