Pagi ini saya ke puskesmas untuk imunisasi Senna. Setelah sampai rumah, seperti biasa saya buka buku kesehatan Sigi dan Senna lalu saya bandingkan. Ternyata di usia 4 bulan, berat badan mereka berdua sama persis 6,3kg walaupun berat lahir Sigi jauh lebih kecil. Dari dulu saya selalu melihat Sigi itu bayi yang kecil, sedangkan Senna terlihat lebih besar di mata saya.
Empat tahun yang lalu, saya seringkali mengukur seberapa gemuk Sigi dengan cara melingkarkan jari2 saya pada betisnya, dan selalu saja saya merasa dia itu kurus. Padahal setiap kali saya cek di grafik berat badan anak menurut WHO, dia selalu berada di rentang normal, alias garis hijau. Dia berhasil mengejar ketinggalan berat badan walaupun dilahirkan dg ukuran sangat kecil. Selama 4 bulan BB nya naik 4,4kg dari 1,9kg menjadi 6,3kg, setiap bulan naik sekilo lebih. Tapi masih saja saya kurang bersyukur.
Sekarang ini saya baru sadar mengapa Sigi terlihat selalu kurus di mata saya. Karena dia lahir sangat kecil. Itu mindset atau kacamata yang selalu saya pakai dalam memandang Sigi. Sigi = kecil
Satu hal lagi yang makin menebalkan kacamata saya adalah hobi saya membanding-bandingkan Sigi dengan anak-anak lain. Hal-hal inilah yang seringkali membutakan mata saya untuk melihat setiap detil kebaikan Tuhan dalam diri Sigi. Dengan kondisi lahir prematur dan sangat kecil, Sigi sehat tanpa perlu inkubator ataupun perawatan khusus di NICU. Walaupun beberapa kali sakit, Sigi terus berjuang untuk sehat kembali, dan terus bertumbuh semakin kuat sampai hari ini. Perkembangan kemampuan dasar seperti motorik kasar dan halus, kemandirian, komunikasi dan sosialisasi semua berkembang normal sesuai usianya. Tidak ada yg delay... Semua itu adalah bukti pemeliharaan Tuhan bagi Sigi.
Kesalahan saya dalam membanding-bandingkan ini bukan hanya berhenti sampai hal lahiriah atau fisik saja, bahkan sekarang ini saya sedang getol-getolnya membandingkan karakter Sigi dengan anak-anak lain, yang tentu saja ujungnya selalu pada perasaan kurang bersyukur atau malah perasaan sombong dan membanggakan anak (atau diri sendiri sebagai orang tuanya) secara berlebihan. Misalnya saya dan mamanya si C ngobrol soal anak kami, lalu dia cerita kalau si C makin mandiri sejak punya adik, berangkat SK sendiri tidak menangis, banyak membantu pekerjaan di rumah dan bahkan bisa menjaga adiknya dengan baik. Setelah percakapan itu, begitu bertemu Sigi saya langsung menjadi sangat "demanding", menuntut dia secara berlebihan, mengharuskan dia untuk lebih mandiri, lebih taat, dan lebih lebih yang lain, yang menurut saya seharusnya dia bisa lakukan karena anak lainpun bisa. Pastilah sikap berlebihan saya ini terasa sangat menyebalkan bagi Sigi. Bundanya tiba-tiba jadi terlalu banyak menuntut dan kurang mensyukuri keberadaan dirinya apa adanya. Gagal melihat setiap progress dan hal-hal baik yang telah dia lakukan.
Hari ini Tuhan tegor saya bahwa setiap orang itu unik, diciptakan Tuhan dengan begitu mulia dan berharga di mataNya. Saya harus meminta hikmat dan kerendahan hati dari Tuhan agar mampu memandang dwngan kacamata Allah. Melihat setiap anak sebagai pribadi yang unik, tidak bisa dibanding-bandingkan satu sama lain, semuanya berharga di mata Allah. Dan mereka semua sedang BERTUMBUH, BERPROSES, BELAJAR. Artinya saya harus siap menerima adanya kesalahan, ketidaksempurnaan dan kegagalan mereka. Namanya juga belajar, pasti ada saja kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan, trial and error. Kita harus berguru kepada Bapa Sorgawi yang sangat murah hati dalam memberikan pengampunan dan kesempatan kedua, ketiga, keempat dan seterusnya sampai anak-anak menjadi dewasa, bukan hanya usianya, tetapi juga dewasa iman dan pemikirannya.
"Untuk memberikan kecerdasan kepada orang yang tak berpengalaman, dan pengetahuan serta kebijaksanaan kepada orang muda." (Amsal 1:4)
Kiranya hikmat Tuhan terus memberikan kecerdasan untuk Sigi bertumbuh semakin dewasa di dalam Tuhan, dan hikmat Tuhan juga yang menolong saya untuk menuntun Sigi berjalan di jalan Tuhan.
Empat tahun yang lalu, saya seringkali mengukur seberapa gemuk Sigi dengan cara melingkarkan jari2 saya pada betisnya, dan selalu saja saya merasa dia itu kurus. Padahal setiap kali saya cek di grafik berat badan anak menurut WHO, dia selalu berada di rentang normal, alias garis hijau. Dia berhasil mengejar ketinggalan berat badan walaupun dilahirkan dg ukuran sangat kecil. Selama 4 bulan BB nya naik 4,4kg dari 1,9kg menjadi 6,3kg, setiap bulan naik sekilo lebih. Tapi masih saja saya kurang bersyukur.
Sekarang ini saya baru sadar mengapa Sigi terlihat selalu kurus di mata saya. Karena dia lahir sangat kecil. Itu mindset atau kacamata yang selalu saya pakai dalam memandang Sigi. Sigi = kecil
Satu hal lagi yang makin menebalkan kacamata saya adalah hobi saya membanding-bandingkan Sigi dengan anak-anak lain. Hal-hal inilah yang seringkali membutakan mata saya untuk melihat setiap detil kebaikan Tuhan dalam diri Sigi. Dengan kondisi lahir prematur dan sangat kecil, Sigi sehat tanpa perlu inkubator ataupun perawatan khusus di NICU. Walaupun beberapa kali sakit, Sigi terus berjuang untuk sehat kembali, dan terus bertumbuh semakin kuat sampai hari ini. Perkembangan kemampuan dasar seperti motorik kasar dan halus, kemandirian, komunikasi dan sosialisasi semua berkembang normal sesuai usianya. Tidak ada yg delay... Semua itu adalah bukti pemeliharaan Tuhan bagi Sigi.
Kesalahan saya dalam membanding-bandingkan ini bukan hanya berhenti sampai hal lahiriah atau fisik saja, bahkan sekarang ini saya sedang getol-getolnya membandingkan karakter Sigi dengan anak-anak lain, yang tentu saja ujungnya selalu pada perasaan kurang bersyukur atau malah perasaan sombong dan membanggakan anak (atau diri sendiri sebagai orang tuanya) secara berlebihan. Misalnya saya dan mamanya si C ngobrol soal anak kami, lalu dia cerita kalau si C makin mandiri sejak punya adik, berangkat SK sendiri tidak menangis, banyak membantu pekerjaan di rumah dan bahkan bisa menjaga adiknya dengan baik. Setelah percakapan itu, begitu bertemu Sigi saya langsung menjadi sangat "demanding", menuntut dia secara berlebihan, mengharuskan dia untuk lebih mandiri, lebih taat, dan lebih lebih yang lain, yang menurut saya seharusnya dia bisa lakukan karena anak lainpun bisa. Pastilah sikap berlebihan saya ini terasa sangat menyebalkan bagi Sigi. Bundanya tiba-tiba jadi terlalu banyak menuntut dan kurang mensyukuri keberadaan dirinya apa adanya. Gagal melihat setiap progress dan hal-hal baik yang telah dia lakukan.
Hari ini Tuhan tegor saya bahwa setiap orang itu unik, diciptakan Tuhan dengan begitu mulia dan berharga di mataNya. Saya harus meminta hikmat dan kerendahan hati dari Tuhan agar mampu memandang dwngan kacamata Allah. Melihat setiap anak sebagai pribadi yang unik, tidak bisa dibanding-bandingkan satu sama lain, semuanya berharga di mata Allah. Dan mereka semua sedang BERTUMBUH, BERPROSES, BELAJAR. Artinya saya harus siap menerima adanya kesalahan, ketidaksempurnaan dan kegagalan mereka. Namanya juga belajar, pasti ada saja kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan, trial and error. Kita harus berguru kepada Bapa Sorgawi yang sangat murah hati dalam memberikan pengampunan dan kesempatan kedua, ketiga, keempat dan seterusnya sampai anak-anak menjadi dewasa, bukan hanya usianya, tetapi juga dewasa iman dan pemikirannya.
"Untuk memberikan kecerdasan kepada orang yang tak berpengalaman, dan pengetahuan serta kebijaksanaan kepada orang muda." (Amsal 1:4)
Kiranya hikmat Tuhan terus memberikan kecerdasan untuk Sigi bertumbuh semakin dewasa di dalam Tuhan, dan hikmat Tuhan juga yang menolong saya untuk menuntun Sigi berjalan di jalan Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar