September 2013 menjadi bulan yang menegangkan sekaligus membahagiakan bagi rumah tangga kami yang usianya menginjak tahun ketiga. Bulan dimana Tuhan kembali menyatakan kuasa dan penyertaan-Nya bagi kami berdua plus satu anggota keluarga baru, Krisna Sigi Widyanto.
Senin, 16 September pk 04.30 WIB, istri saya, Eliani Angga Safitri, terbangun dan menyadari bahwa celananya sudah basah. Ternyata Ketuban Pecah Dini. Usia kandungan saat itu baru 35 minggu. Kami panik dan secepatnya menuju RS terdekat dari kosan kami yaitu RS Carolus. Namun kami tidak mendapatkan penanganan yang baik, akhirnya kami memutuskan untuk segera meluncur ke RS Mitra Keluarga Depok, tempat Angga biasanya kontrol kandungan.
Suatu pelajaran bahwa sebaiknya tempat kontrol kandungan merupakan tempat yang akan dijadikan tempat bersalin supaya rekam medis sejak kandungan tercatat dengan lengkap. Dokter akan lebih mudah mengambil keputusan karena mengetahui riwayat bayi sejak dalam kandungan. Kami kemarin berpikiran bahwa kami kontrol di RS Mitra Keluarga saja karena sudah menemukan dokter yg bagus, tetapi akan bersalin di RS lain yg lebih murah. Kontrol di RS tujuan bersalin nanti-nanti saja waktu usia kandungan sudah 8 bulan. Ternyata gak kesampaian. Sepertinya anak kami emang gak pengen lahiran sama dokter yang lain. Hehehe
Angga langsung opname di hari itu juga. Dokter merencanakan proses bersalin dilakukan pada hari Rabu tanggal 18 September. Dokter memberikan obat untuk pematangan paru-paru Sigi dan obat untuk menahan kontraksi. Overall kondisi Sigi di waktu ini baik. Denyut jantungnya dicek setiap 3 jam sekali dan hasilnya selalu bagus. Angga dan saya terus berbicara kepada Sigi untuk terus kuat dan sabar di dalam perut bundanya sampai tanggal 18 september. Kami terus berdoa supaya Sigi dan Angga sehat dan bisa lahiran normal karena dari awal kehamilan kami sangat ingin lahiran normal.
Tapi betapa sedihnya kami, terlebih Angga, ketika dokter melakukan visitasi dan memeriksa kondisi Angga dan Sigi pada Rabu pagi. Jumlah air ketuban Angga, dari skala 1-10, ada di posisi 6,5. Artinya air ketuban sudah sedikit. Proses kelahiran normal membutuhkan air ketuban yang cukup, bukan hanya sebagai “pelumas” bayi saat keluar dari rahim, tapi juga menjaga bayi dari tekanan rahim saat kontraksi. Akan sangat beresiko bila dilakukan persalinan normal. Satu hal yang membuat kami tenang adalah kondisi Sigi baik, denyut jantung normal. Akhirnya kami sepakat untuk menjalani operasi caesar.
Angga sangat terpukul dan menangis sejadi-jadinya waktu dokter pergi dari kamar rawat. Saya bisa melihat rasa kecewanya tidak bisa lahiran normal. Mungkin ada penyesalan juga disana. Tapi kami memang tidak bisa melawan kehendak Tuhan. Kami memutuskan pasrah saja pada rencana Tuhan. Toh kekhawatiran kami tidak akan mengubah apapun kecuali merusak sukacita dan rasa syukur kepada Sang Empunya Hidup.
Singkat cerita, pk 14.36 WIB hari Rabu tanggal 18 September 2013, Sigi lahir ke dunia melalui operasi caesar. Beratnya 2,085 kg dan panjang 44 cm. Proses operasinya ternyata cepat. Hanya sekitar 15-20 menit setelah masuk ruang operasi, Sigi udah keluar. Sigi sempat IMD sebentar dan langsung dibawa suster ke inkubator supaya Sigi hangat karena ruangan operasi luar biasa dingin (kata Angga sih gitu). Sigi begitu mungil tapi lincah sekali. Tangan dan kakinya seolah tidak mau diam.
Sesaat setelah saya diperbolehkan melihat Sigi, saya sempatkan untuk mengambil foto dan videonya. Ada sedikit rasa lega ketika proses persalinan sudah berjalan dengan baik. Angga dan Sigi selamat. Saya begitu mengucap syukur.
Sekitar 6 jam setelah persalinan, untuk pertama kalinya Sigi dibawa ke pelukan Angga. Sebelumnya Angga udah gak sabar pengen meluk dan cium anak pertamanya yang selama ini hanya bisa dirasakannya dalam perut. Angga pun diminta untuk menyusui Sigi. Suster memberitahu bahwa Sigi harus banyak minum ASI agar berat badannya segera naik dan resiko “kuning” bisa diminimalisir, walaupun Sigi masih akan kesulitan saat menyusui.
Benar saja, Sigi memang belum terlalu antusias untuk menyusu walaupun ASI sudah mulai keluar. Bahkan dokter kandungan Angga bilang, “wah, ASI Ibu banyak juga ya…”. Kata suster sih refleks bayi untuk menyusu itu biasanya muncul saat umur kandungan 38 minggu. Sigi waktu lahir umur kandungannya 35 minggu. Jelas saja dia masih emoh untuk menyusu. Tapi Angga terus memaksa Sigi untuk menyusu. Memang dari awal kehamilan, Angga sudah berniat akan memberikan ASI kepada Sigi. Makanya Angga gak pernah menyerah. Saya sungguh bersyukur memiliki istri yang begitu ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya. Saya bersyukur Angga adalah ibu dari anak saya.
Hari Sabtu, 21 Oktober 2013, tangisan Angga pecah kembali saat hasil pemeriksaan darah Sigi menyatakan bahwa kadar Bilirubinnya ada di angka 12,8 dari nilai normal 0-10. Kekhawatiran kami bahwa Sigi akan “kuning” benar-benar terjadi. Sigi harus di phototherapy agar kadar Bilirubinnya bisa segera turun. Dokter memperkirakan memakan waktu sampai 2 hari. Itu artinya Sigi harus menginap lebih lama di RS sedangkan Angga sudah boleh pulang pada hari itu juga.
Selain itu ada hal lain yang menjadi pergumulan kami. Salah satu efek dari phototherapy adalah bayi akan sering minum. Bila tidak, bayi akan dehidrasi karena terpapar sinar terapi terus menerus. Kami dari awal sepakat untuk memberikan ASI kepada Sigi. Angga diminta untuk memerah ASInya dan mengantarkannya ke RS untuk diminum oleh Sigi. Dari beberapa kali percobaan, hasil perahan paling banyak hanya 1 sendok makan. Suster menyatakan bahwa mungkin Sigi akan memerlukan 30 ml susu dalam sekali minum. Suster menawarkan untuk memberikan Susu Formula selama Sigi menjalani phototherapy. Kami tidak segera menjawab setuju atas tawaran suster karena kami tidak suka dengan tawaran tersebut. Angga terus berusaha memerah ASI. Dan hasilnya tidak berbeda jauh dengan sebelumnya.
Akhirnya dengan terpaksa kami setuju dengan tawaran suster. Sigi akan diberi minum susu formula selama phototherapy, dengan syarat suster tidak menggunakan dot saat memberi Sigi minum susu. Setelah menggendong Sigi, saya dan Angga pamitan untuk pulang ke rumah sekaligus menitipkan Sigi pada para suster disana.
Minggu siang saya mendapat telepon dari RS. Sigi ternyata sudah boleh pulang karena Sigi berespon baik atas terapi yang dia jalani. Kadar bilirubin sudah di angka 8. Kami segera meluncur ke RS dan membawa pulang Sigi. Sejak saat itu, Sigi berhenti minum Susu Formula. Cukup sehari dia minum susu formula. Selanjutnya ASI Eksklusif dari Bunda Angga.
Berkat Tuhan tidak berhenti mengalir untuk Sigi. Kami dibuat terheran-heran karena Tuhan melimpahkan berkatnya sangat deras buat Sigi. Semua peralatan bayi yang kami perlukan, Tuhan sediakan melalui pemberian teman gereja, tetangga, saudara, dan teman kantor. Bisa dibilang kami gak modal apa2 untuk Sigi. Mungkin benar kata orang, banyak anak banyak rejeki. Hehe
Oiya, saya belum cerita arti nama anak kami. Krisna Sigi Widyanto, putra pertama dari Kristyanu Widyanto dan Eliani Angga Safitri.
Nama yang berisikan harapan dan doa kami untuk anak kami tercinta.
Krisna merupakan perpaduan dari dua nama kami, Kristyanu dan Angga. Kami ingin anak kami selalu ingat bahwa dia memiliki orang tua yang sangat mengasihinya. Kami ingin setiap kali ada orang yang memanggil namanya, setiap kali dia memperkenalkan namanya kepada orang lain, setiap kali dia menuliskan namanya atau menandatangani dokumen penting di atas tulisan namanya, setiap kali dia melihat namanya terukir pada piagam/medali atas hasil kerja kerasnya, dalam setiap waktu, dia senantiasa mengingat bahwa dia memiliki kami, orang tua yang dengan sepenuh hati mencintainya. Krisna merupakan buah cinta kasih yang dianugerahkan Tuhan dalam kehidupan pernikahan kami. Menurut ayah saya, Krisna juga memiliki arti lain, yaitu orang yang bijaksana.
Sigi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti suluh. Begitu pun Dalam Bahasa Jawa Kuno, memiliki arti suluh/pelita. Besar harapan kami bahwa Sigi akan menjadi suluh pembawa terang bagi dunia, secara khusus bagi bangsanya, bangsa Indonesia. Kami sungguh berdoa, Tuhan membentuk Sigi sedemikian rupa sehingga dia kelak menjadi berkat bagi bangsa Indonesia. Memiliki hidup yang memuliakan Tuhan. Menjadi pelayan Tuhan yang taat dan setia. Tentunya sebagai orang tua, kami memiliki peranan sekaligus tanggung jawab yang besar agar hal itu dapat terwujud. Mungkin banyak hal yang harus dikorbankan demi hal ini. Tapi kami yakin bahwa inilah panggilan yang terutama sebagai orang tua, yaitu membawa anak-anaknya mengenal Tuhan, memastikan bahwa anak-anaknya akan menjalani hidup seturut panggilan yang Tuhan berikan baginya. Berat memang, tapi Tuhan pasti memberi kekuatan.
Widyanto, diambil dari nama akhir saya. Awalnya saya tidak tahu apa arti nama Widyanto. Selama ini saya hanya meyakini bahwa Widyanto adalah hasil gabungan nama kedua orang tua saya, Saktyanu Widjaja Dajati (WAWIED) dan WURYANTI Suminaring Ayu. Jadi nama ini disematkan pada nama anak kami hanya karena kami ingin ada nama keluarga didalamnya, tanpa tahu ada arti khusus di dalamnya. Namun karena penasaran, kami coba searching arti nama Widyanto di internet. Dalam salah satu web, disebutkan nama Widyanto merupakan nama anak laki-laki yang berasal dari bahasa Jawa. Artinya adalah pria yang pandai dan berilmu pengetahuan. Kami memang tidak bisa memastikan kebenaran arti ataupun asal usul dari kata tersebut, namun kami tentunya ingin agar anak kami menjadi orang yang pandai dan berilmu. Seperti kisah Daniel, orang yang berhikmat dan berintegritas. Juga yang terpenting adalah mengasihi Allah lebih dari apapun.
Sigi, bertumbuhlah dengan baik ya Nak. Takutlah akan Tuhan dan hiduplah untuk menjalani panggilan-Nya.