Rabu, 18 Juni 2014

I'm not an excellent housekeeper

Minggu-minggu awal jadi SAHM saking excitednya saya begitu semangat dan perfectionist. Setiap hari rumah harus bersih dan harum, lantai dipel dan semua perabot dilap kinclong. Sigi harus selalu happy, bersih dan harum. Harus selalu baca buku, kalau perlu baca yang kenceng di depan Sigi biar dia jadi anak yang hobi membaca. Kerjaan rumah harus beres biar suami udah capek kerja gak perlu bebantu lagi. Namun idealisme itu lambat laun terkikis oleh barbagai kerikil tajam bernama kelelahan dan frustasi. Akhirnya saya harus mengaku, I'm not an excellent housekeeper.

Berawal dari usia Sigi 5 bulan mengalami diare, mual dan muntah sampai 3 minggu, datanglah stress dan frustasi melanda emaknya. Usia 6 bulan Sigi mulai MPASI plus si emak harus kembali mengerjakan tugas-tugas kuliah. Sebulan pertama MPASI Sigi sungguh luar biasa menguras tenaga, hati dan pikiran. Sigi susaaaaaaah banget makan, kalau dipaksa muntah atau makanannya sengaja ditamplek. Akhirnya saya suapin dia 4 kali sehari sedikit-sedikit. Yang paling banget-banget buat frustasi tingkat akut adalah kebodohan saia yang sok idealis tapi enggan berguru sama orang tua. Alhasil semua berantakan tak karuan. Kekeliruan pertama, tiap kali mau ngasih Sigi makan saya selalu menumbuk sendiri beras merah yang sudah direndam menggunakan penumbuk manual MPASI Pigeon. Sukses membuat saya mengucurkan keringat sejagung-jagung (lebay.com) karena dalam beberapa menit si beras harus disulap menjadi tepung. Kekeliruan kedua, saya hanya menyiapkan 1 set alat makan dan setiap habis makan harus langsung dicuci dan steril (4 kali sehari boooooooo). Padahal masih ada banyak alat makan Sigi yang tersimpan rapi di gudang:( Kekeliruan ketiga, Sigi rewel banget saat itu karena badannya tidak fit sehingga saya membiarkan dia di stroller sambil saya goyang-goyang pakai kaki sedangkan kedua tangan saya memasak makanan dia. Sigi kasihan banget, kemungkinan dia lapar tapi saya terlalu stres bejibaku dengan makanan dia sampai tidak lagi peka akan kebutuhannya, atau lebih tepatnya tidak tahu bagaimana menangani kondisi saat itu. Kekeliruan keempat, saya kurang pandai membujuk Sigi untuk makan. Sisi idealisme saya menuntut si baby harus duduk di highchair saat makan agar tidak tersedak sekaligus membiasakan dia cara makan yang benar. Kami tidak punya highchair, sehingga saya ganti dengan stroller dipasang duduk. Cara ini sukses membuat saya dan Sigi frustasi tiap kali waktu makan tiba. Untunglah kekeliruan-kekeliruan tadi cukup sebulan saja kami alami, dan segera diperbaiki setelah mamah Ti datang dan memberikan kursus singkat, padat dan cepat dalam beberapa hari.

Saat Sigi berusia 7 bulan saya sudah tidak sanggup lagi memegang kerjaan rumah. Semua super berantakan seperti kapal pecah. Si ayahpun harus membantu menyeterika baju tiap kali pulang kantor (kasihan banget, padahal udah capek kerja dan berdiri sejam di kereta). Akhirnya lagi-lagi saya menyerah dengan idealisme saya dan memutuskan untuk menyewa jasa bibi cuci, seterika, nyapu, ngepel tiga kali seminggu. Saya sempat merasa diri tidak berguna karena sudah tinggal di rumah saja tapi masih punya pembantu padahal anak baru satu. Tapi ya sutralah, saya belajar mendelegasikan tugas yang memang sudah tak sanggup kukerjakan. Waktu saya benar-benar sudah habis untuk merawat Sigi karena sejak 5 bulan itu Sigi jadi sering sakit. Saat usia 6 bulan, setelah dibabtis Sigi kena flu batuk pilek, tiap malam teriak-teriak rewel. Kemudian 7 bulan anemia defisiensi fe (IDA/Iron Defisiensi Anemia), yang sebenarnya sudah dialami sejak usianya 5 bulan tapi baru kami ketahui setelah dia berumur 7 bulan. Sehingga anemianya sudah sangat parah, hemoglobin hanya 6,2 padahal bayi normal seharusnya 12-14. Sedangkan ferritin atau cadangan besi dalam tubuhnya hampir habis, hanya tersisa 1,08 dari angka normal bayi minimal 20. Dampaknya pertumbuhan Sigi terhambat, dari usia 5 bulan sampai 7 bulan beratnya tidak mengalami kenailkan. Ceritanya cukup panjang, saya berencana untuk menulisnya dalam post tersendiri. Belum sampai seminggu Sigi selesai ditransfusi, dia terkena campak. Badannya demam, sekujur tubuhnya bintik-bintik merah, mual, muntah dan mencret serta batuk. Ya ampun, saya sungguh tidak tega melihatnya. Berhari-hari menangis sepanjang malam tidak bisa tidur karena badan gatal dan panas plus batuk-batuk. 3 minggu terakhir kemarin, lagi-lagi Sigi diare plus mual muntah. Tiga minggu benar-benar waktu yang sangat panjang, yang membuat Sigi tak kunjung gemuk seperti dulu.

Beberapa hari ini Sigi sudah sehat, sudah mulai mau makan banyak. Dan hari ini tepat Sigi berusia 9 bulan, kami orang tuanya berharap Sigi tidak sakit lagi. Sekarang Sigi sudah belajar berdiri, makin bawel kalau ngoceh dan makin pintar diajak berkomunikasi. Dia sudah mulai suka meniru apa yang dilihat atau didengarnya. Pernah saya dibuatnya takjub, saat saya ajari dia bicara mamama bababa papapa dalam beberapa menit dia menatap saya sambil melongo mengernyitkan kening dan menganga tapi tidak ikut bersuara. Lalu saya tinggal sebentar ke belakang. Dari dapur saya mendengar dia ngoceh mababapapapa, lama kelamaan ma dan ba nya hilang tinggal papapapapa. Sampai tengah malampun nglindur ngomong papapapa sendiri. Sekarang kalau diajarin bicara satu kata misalnya bola atau bunda dia perhatikan beberapa saat trus ketawa, mengalihkan perhatian karena belum bisa menirukan hehehehe. Tinggal di rumah 24 jam sama bayi tuh rasanya emang nano-nano banget, manis, asam dan asin jadi satu. Ada waktu ketawa ngakak lihat polah tingkahnya, ada waktu nangis-nangis lihat dia sakit, ada waktu esmosi bergumul dengan rasa marah dan gemes kalau berkali-kali muntah dan gak mau makan.

Sampai pada satu titik dimana saya menyadari Tuhan benar-benar sedang bekerja membentuk saya. Tuhan izinkan kesulitan-kesulitan ini terjadi agar saya semakin menyadari betapa lemahnya saya sehingga sungguh perlu bersandar dan berharap pada-Nya. Tetap percaya pada janji-Nya sekalipun hari itu begitu gelap sampai-sampai hari depan tidak berani kutatap. Selalu menyakini pemeliharaan-Nya walau sakit berkali-kali mendera. Pembentukan karakter memang berat dan adakala menuntut air mata. Saya orangnya gampang emosi, cepet marah dan gak sabar. Sampai sekarang juga masih begitu sih. Tapi Tuhan tidak pernah putus asa, terus membentuk saya lewat banyak peristiwa tiap-tiap hari. Saya juga egois, sombong dan gampang nangis. Sampai sekarangpun masih ada sifat-sifat itu, dikikislah sama Tuhan tiap hari. Kamu mau egois sama anakmu? Kamu mau menyombongkan apalagi? Tidak ada lagi yang bisa disombongkan. Kamu mau marah-marah terus tiap hari sama Sigi? Begitulah setiap hari saya bergulat dengan rasa nano-nano, belajar mengendalikan diri, menahan emosi. Hari berganti hari serasa berlalu begitu cepat. Walaupun setiap saat bersama Sigi, lantas tidak membuat waktu terasa lambat, justru sebaliknya, terasa amat cepat. Saya tidak ingin menyesal melewatkan banyak waktu bersamanya, karena tiap detiknya sungguh berharga dan tidak akan terulang lagi.